Credits in the pic

Two Choices, Are You In or Out

jeee (@hanniebiscuits)
11 min readNov 24, 2023

--

“Kamu lama!” Choi Seungcheol pagi itu sudah duduk manis di meja makan. Namun, keinginannya untuk sarapan harus tertunda karena adik perempuan satu-satunya ini lama sekali bersiap diri di kamar.

“Apa, sih?” balas Choi Seungah tak kalah sewot dari kakaknya.

“Buat apa memangnya sarapan pagi aja harus pake pakaian rapi gitu? Mana lama banget. Kami nunggu kamu lebih dari 15 menit!” Bersamaan dengan Seungah yang sudah duduk di samping kakaknya, Seungcheol langsung mengambil sumpit dan mulai makan.

“Maaf, ya kak kalau lama. Tapi kakak harus ngerti, aku ini perempuan. Mau gimana pun aku harus pakai baju yang rapi, meskipun hanya sarapan aja. Aku gak kayak kakak yang pakai baju satu helai aja gak akan ada yang komentar atau bahkan omelin.” Seungah tidak mengubris lagi tatapan tajam Seungcheol. Gadis itu menyapa Ayah dan Ibu nya serta menuangkan teh untuk satu keluarganya.

“Buat makan pagi aja sampai harus bikin orang nunggu lama. Emang dasarnya aja kamu perempuan ribet!” Tak terima diceramahi adiknya, Seungcheol masih bisa membalas.

Sebuah delikan sebal dari Seungah dan beberapa patah kata sudah disiapkan olehnya untuk membalas, tetapi Ibu lebih dulu menegur keduanya.

“Choi Seungah, cukup. Tidak boleh membantah dan menjawab. Perempuan itu harus diam saja, mulutmu itu harus dijaga. Choi Seungcheol, berhenti menggerutu dan makan saja dengan tenang!”

Meskipun Seungcheol dan Seungah sering bertengkar, keduanya tetap saling menyayangi layaknya kakak beradik. Namun, tetap saja beberapa argumen tanda tidak setuju sering mereka lontarkan. Seungcheol yang sangat protektif terhadap adik perempuannya kadang membuat Seungah kesalnya bukan main. Seungah tidak bisa bebas bermain bersama teman-temannya di luar rumah terlalu lama! Padahal Seungah dan teman-teman perempuannya hanya berkeliling di kota, minum teh, dan menyicip jajanan.

“Kamu, tuh ngapain, sih lama-lama di luar? Kalau kamu diapa-apain sama orang gimana?” Suatu hari Seungcheol yang mendadak pulang dari kamp militer sudah bertengger di depan gerbang rumah menunggui Seungah.

“Loh? Memangnya kenapa? Aku gak pergi sendiri. Ini ditemani Suji.” Seungah baru kembali dari jalan pagi bersama dayangnya terkejut melihat Seungcheol sudah kembali.

“Lain kali habis belanja, langsung pulang! Perempuan kok keliaran, bukannya belajar mengurus rumah.”

Ya ocehan seperti ini yang membuat Seungah kesal bukan main ke kakak laki-lakinya. Memangnya kenapa kalau perempuan muda seumuran Seungah sedang menikmati waktu luang dan kebebasannya? Seungah tidak akan bisa memiliki kebebasan ini lagi ketika ia menikah dan punya anak.

Seungcheol banyak mengoceh, tetapi ia akan maju paling depan untuk melindungi adik perempuan satu-satunya ini. Pernah sekali waktu saat Seungah sedang membeli kudapan, ia hampir dirampok. Kalau saja Seungcheol tidak mengikuti Seungah diam-diam, adiknya mungkin sudah terluka atau diperkosa. Ini alasan Seungcheol tidak mau adiknya berlama-lama di luar rumah.

Kembali ke keseharian pagi keluar Choi, kurang lebih sama seperti keluarga lainnya. Setelah sarapan, waktunya untuk minum teh sebelum memulai hari. Hari ini Ayah dan Seungcheol harus kembali ke kamp militer untuk menyiapkan pasukan perang di Utara.

Peperangan yang terjadi di Utara sudah memakan waktu terlalu lama dan korban terlalu banyak. Raja, para menteri, dan jenderal akhirnya memutuskan menambah pasukan baru untuk berkontribusi menghentikan perang. Pasukan ini dibentuk melalui surat yang dikirim ke setiap keluarga yang memiliki anak laki-laki wajib dikirim untuk perang. Sejak tiga hari berlalu surat perintah itu keluar, terhitung sudah seribu laki-laki di daerah Barat yang bergabung. Siapa yang tidak mau menaikkan kehormatan dan martabat keluarga melalui perang? Kalau selamat dari perang, seorang laki-laki akan dianggap orang hebat bukan?

Ayah Seungcheol sebagai salah satu jenderal adalah yang mencetuskan ide ini kepada Raja. Tujuannya agar pasukannya tidak habis sekaligus menambah personil militer. Efektif, kan? Puluhan tahun berkarier di militer, Ayah Seungcheol tentu ingin memperpanjang eksistensi keluarga Choi di militer. Melalui siapa?

“Seungcheol, nanti sebelum kamu kembali tugas, ikut Ayah rapat sama jenderal lain, ya. Ada yang harus kamu ketahui,” ucap pria berambut setengah putih itu berdiri dari meja makan, bersiap kembali ke kamp militer bersama putranya.

“Baik, Ayah.” Seungcheol juga ikut berdiri, tidak tahu apa yang harus ia ketahui sampai harus hadir dalam rapat para petinggi. Harusnya sesuatu yang penting, kan?

Keduanya berkuda ke kamp militer khusus untuk para petinggi, sedikit lebih jauh dari kamp militer tempat Seungcheol bertugas. Beberapa kali Seungcheol menghampiri Ayahnya di kamp ini, tetapi tidak pernah diundang rapat. Laki-laki ini sebenarnya gugup, mulai mengingat-ingat kesalahan-kesalahan kecil yang pernah ia buat.

Di dalam tenda sudah hadir beberapa jajaran tinggi militer. Seungcheol kenal baik dengan semuanya karena di luar militer, mereka semua adalah teman-teman Ayahnya yang sudah ia kenal sejak kecil. Paman-paman ini sangat ramah dan menyenangkan ketika bertamu ke rumah Seungcheol. Akan tetapi, ketika menjalankan peran menjadi jenderal, mereka semua merubah mimik wajahnya.

“Jenderal semuanya, izinkan saya mengenalkan Kapten baru kita yang akan melatih para prajurit baru mulai hari ini. Kapten Choi Seungcheol, silakan.” Ketika Ayahnya menyebut namanya, Seungcheol bingungnya bukan main. Ayahnya tidak pernah membicarakan Seungcheol naik pangkat dan mengemban tugas baru selama mereka istirahat di rumah.

Seungcheol naik pangkat? Memang akan naik pangkat, tapi Seungcheol tidak mengira akan secepat ini. Baru 3 tahun Seungcheol bergabung dalam militer dan sudah menjadi kapten? Hebat. Hebat sekali campur tangan Ayah.

“Mulai hari ini, Kapten Choi Seungcheol akan bertanggung jawab untuk melatih para prajurit yang baru bergabung agar siap membantu pasukan kita di Utara. Bagaimana, Kapten? Siap?” Pandangan Ayah Choi berputar melihat para koleganya tersenyum bangga ke arah Seungcheol. Terakhir ia lihat putranya yang tadinya tersenyum gugup berubah menjadi percaya diri.

“Siap, Jenderal,” jawab Seungcheol mantap.

“Baiklah, cukup berita pagi ini. Bagaimana keadaan di Utara? Apakah sudah mereda?”

“Dua hari lalu kami berhasil mempertahankan desa Jing dari serangan Hun. Serangan mereka cukup terkalkulasi dengan baik, kalau saja pasukan kita tidak siap, mungkin terjadi pembantaian seperti di desa Mong. Dari 440 pasukan kita, 9 diantaranya tidak selamat. Kita butuh bantuan secepatnya karena suku bar-bar itu tidak dapat diprediksi kapan akan menyerang lagi. Pola serangannya terlalu acak. Kadang satu bulan, kadang 4 hari, kadang 17 hari, tidak pasti. Pasukan yang tersisa bisa menahan serangan, tetapi jika serangan berikutnya suku Hun menurunkan lebih banyak orang, dapat dipastikan kita akan kehilangan desa Jing.”

Seungcheol mengenal baik Jenderal Lee Soohyuk, pamannya yang satu itu adalah orang paling baik dan sabar diantara orang-orang di tenda ini. Jenderal Lee selama ini memimpin pasukan di Utara dan laporannya barusan cukup membuat Seungcheol semakin kagum. Sudah hampir enam bulan Jenderal Lee memimpin 500 pasukannya di Utara dan ia baru kehilangan sekitar 60 orang. Seungcheol sepertinya harus belajar dari Jenderal Lee untuk melatih pasukan baru nya nanti.

“Kapten Choi, kira-kira berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk melatih pasukan barumu?” Lee Soohyuk menatap mata Seungcheol langsung dan seketika satu ruangan hening.

“Dari laporan yang ada, kebanyakan pasukan baru ini adalah petani. Setelah didata, hanya segelintir dari mereka yang pernah berlatih bela diri dan bisa memegang senjata. Setidaknya saya harus memberikan mereka pelatihan dasar satu bulan setengah, itu paling cepat. Tidak hanya itu, setidaknya saya ingin melatih mereka memegang senjata. Jenderal semua tahu dua program pelatihan ini tidak bisa berjalan bersama. Mereka harus dilatih secara fisik terlebih dulu sebelum pegang senjata.” Seungcheol melihat Ayahnya dan beberapa yang lain mengangguk setuju.

“Jadi? Berapa lama?” tanya Jenderal Lee.

“Tiga bulan. Paling cepat tiga bulan. Saya bisa pastikan dalam tiga bulan pasukan saya sudah siap bergabung dengan Jenderal Lee di Utara,” ucap Seungcheol percaya diri. Dalam hatinya ia ingin meminta masukan dari Lee Soohyuk secara pribadi tentang bagaimana caranya menciptakan pasukan terbaik.

“Tiga bulan. Tidak lebih.” Tidak ada ruang untuk negosiasi atau mundur lagi dari nada Jenderal Lee.

“Tiga bulan,” balas Seungcheol, seorang yang selalu menepati janjinya kali ini membuat janji yang besar bebannya. Tetapi tidak ada kata gagal dan menyerah di kamus Seungcheol. Ia akan pastikan dalam tiga bulan, seribu petani itu akan ia ubah menjadi pasukan elit terbaik.

Setelah rapat selesai, Jenderal Choi dan jajaran lainnya akan bertolak ke Istana untuk menghadap Raja. Seungcheol akan turun ke kamp militer dan mulai melatih pasukannya.

“Jenderal Lee, apakah ada saran bagaimana melatih pasukan?” tanya Seungcheol sebelum rombongan itu pergi.

Lee Soohyuk memandang keponakannya itu dengan rasa kagum. Kenaikan pangkat Seungcheol memang hasil andil Ayah nya, tetapi di luar itu Seungcheol dikenal sebagai prajurit yang hebat. Luar biasa disiplin, berani, dan kemampuan bela dirinya tidak perlu diragukan.

“Percaya sama mereka saja, Kapten Seungcheol. Cukup percaya sama mereka.” Senyum Lee Soohyuk naik ke kuda nya.

“Ayah yakin kamu bisa.” Sebuah tepukan mantap dari Ayah nya di pundak sudah cukup untuk Seungcheol.

Ia memandang rombongan pimpinan militer itu pergi menjauhi kamp. Tak lama Seungcheol pun naik ke kuda putihnya, siap bertolak ke kamp militer yang akan ia pimpin. Seungcheol yakin, seyakin-yakinnya kalau ia bisa mengikuti jejak Ayah dan Pamannya menciptakan pasukan hebat dalam waktu singkat.

***

Apa yang terjadi ketika seribu laki-laki di usia muda dikumpulkan dalam satu tempat yang sama?

Benar. Jauh dari kata hidup teratur. Kacau, berantakan, penuh canda tawa seakan militer adalah piknik.

Ketika Seungcheol sampai, kamp militer khusus ‘pasukan’ baru nya ini berubah seperti festival. Ada yang minum arak tengah hari bolong, ada yang sedang memasak, ada yang tidur siang, bahkan ada yang tergeletak di tanah entah itu pingsan karena mabuk atau bertengkar. Beberapa prajurit militer berada di tempat terpisah dan ketika mereka melihat Seungcheol, mereka segera berdiri dan memberi hormat.

Seungcheol mencoba mengerti. Selama tiga hari belakangan, kehidupan para pemuda ini berubah drastis. Alasan mereka masuk militer pun pasti beragam. Mereka yang memilih masuk militer demi kehormatan keluarga, mereka yang terpaksa ikut karena tidak ada pilihan, dan mereka yang masuk demi keselamatan keluarga. Entah bagaimana Seungcheol akan melatih pemuda-pemuda ini, kata Jenderal Lee ‘percaya saja’ kan?

“HEI! KAU! Untuk apa siang-siang begini pakai atribut lengkap? Sini, gabung sama kami minum ini!” Seorang laki-laki bertelanjang dada teriak dari depan tendanya dan menunjuk-nunjuk Seungcheol.

Bagaimana caranya percaya pada ‘pasukan’ seperti ini?

Seungcheol hanya menatap laki-laki itu dengan tajam, keningnya berkerut heran. Siang bolong mabuk arak? Ternyata masih banyak pekerjaan rumah Seungcheol untuk melatih para laki-laki ini. Ia harus secepatnya menyiapkan strategi latihan dengan Mingyu. Tiga bulan adalah waktu yang singkat, Seungcheol harus bisa membuktikan diri.

Laki-laki bertelanjang dada dan komplotannya tidak Seungcheol ladeni, ia kembali mengarahkan kudanya untuk terus berjalan menuju tendanya. Ternyata pemandangan di dalam tidak semenyedihkan di depan. Ada beberapa laki-laki yang sedang berlatih bela diri dengan prajurit perang. Setidaknya Seungcheol masih bisa berani berharap.

Satu hal lain yang ia perhatikan, antara prajurit lama dan rekrutan baru, ada batasan yang tak terlihat. Ada sekitar 100 prajurit yang dibawa Mingyu dari markas. Mereka mendirikan tenda tidak jauh dari tenda Seungcheol, susunannya pun rapi, berjejer rata, dan berdiri sempurna. Sedangkan para rekrutan baru ini terlihat asal-asalan mendirikan tenda. Semuanya menyebar dan bentuknya pun abstrak. Satu lagi pekerjaan rumah Seungcheol, mengajarkan para laki-laki ini hidup teratur.

Setelah mengikat kudanya di sebelah tenda, ternyata ada pohon rindang tidak jauh dari belakang tenda Seungcheol. Sedang apa seorang laki-laki, bukan, perempuan duduk di bawah pohon sendirian? Perempuan itu berambut hitam panjang sebahu, tetapi memakai seragam militer. Di tangannya ada kipas dan ia sedang tertawa terbahak-bahak memperhatikan laki-laki telanjang dada tadi. Seungcheol tidak bisa melihat jelas wajahnya, tetapi ia yakin pasti cantik. Namun, apakah ada perempuan di antara rekrutan baru ini? Kenapa ada perempuan di militer?

“Seungcheol!” Baru dua langkah Seungcheol hendak menghampiri perempuan itu, Mingyu sudah memanggilnya.

“Eh maaf, haruskah aku memanggilmu Kapten Seungcheol?” Kim Mingyu, sahabat karib Seungcheol sekaligus tangan kanan dan letnan nya.

“Tahu dari mana kalau pangkatku sudah berubah?” Seungcheol menepuk bahu Mingyu.

“Ketika kamu istirahat di rumah selama seminggu, tepat sebelum aku dan prajurit berangkat, kami sudah diberi tahu kalau kapten kompi ini adalah Choi Seungcheol. Tidak heran kalau para atasan menempatkanku dan Seokmin bersamamu di sini,” jelas Mingyu yang dibalas anggukan dari Seungcheol.

Mingyu menarik Seungcheol masuk ke tenda rapat, tak jauh dari tempat mereka berada. Banyak hal yang harus Seungcheol, Mingyu, dan Seokmin bicarakan untuk melatih rekrutan baru ini. Sosok perempuan berpakaian militer di bawah pohon rindang pun terhempas jauh dari pikiran Seungcheol.

“Jadi selama satu setengah bulan kita harus latih fisik dan satu setengah bulan berikutnya latih pegang senjata?” Seokmin takut telinganya salah dengar penjelasan Seungcheol.

“Dimana akal sehatmu? Durasi pelatihan fisik normalnya tiga bulan dan pegang senjata minimal pedang dan tombak saja ditambah tiga bulan lagi. Itu belum sampai mahir. Ini hanya tiga bulan sudah semua nya dan harus mahir? Kau gila, Choi Seungcheol! Mana bisa!”

“Bisa, Seok. Kita latih keras. Pasti dalam waktu tiga bulan setidaknya kita berhasil melatih mereka bela diri seperti pasukan Jenderal Lee Soohyuk.” Ya tidak ada yang bisa memisahkan Choi Seungcheol dengan ambisinya.

Seokmin hendak protes, tetapi Mingyu lebih dulu mengisyaratkannya untuk diam. “Harus mulai secepatnya, kan? Setelah apel langsung mulai pelatihan?”

Seungcheol mengangguk. “Setelah apel siang kita mulai latihan dasar. Setiap pagi dan sore lari naik turun bukit, malam mulai gantian jaga malam. Campur semua pasukan, baik prajurit lama dan rekrutan baru. Aku tidak mau ada perbedaan antara mereka, kita semua di sini sama.”

Mingyu dan Seokmin sudah bisa membayangkan bagaimana mereka harus bisa menyiapkan stok kesabaran. Beberapa rekrutan baru ini berlagak seperti preman yang sejujurnya Seokmin sudah menebak mereka ini preman di kota asalnya, akan sulit sekali medisiplinkan mereka.

“Kalau ada yang mulai pertengkaran?” Seokmin kemarin empat kali melerai pertengkaran. Pertama karena rebutan air minum, kedua karena bahu yang tersenggol, ketiga dan keempat karena mabuk. Hampir saja Seokmin menjadi sasaran bogem mentah.

“Disiplinkan sesuai aturan militer. Dua kali bermasalah, pulangkan secara tak terhormat,” jawab Seungcheol. Ia sudah bisa menebak pasti nanti ada beberapa orang yang ia pulangkan.

Seokmin, Mingyu, dan Seungcheol masuk militer di hari yang sama tiga tahun lalu. Di antara mereka bertiga, Seokmin paling unggul bertarung dengan pedang maupun senjata lain. Tidak seperti Mingyu yang ramah, Seokmin lebih seperti Seungcheol yang luar biasa galak. Ia hampir tidak pernah tersenyum, sekalinya Seokmin tersenyum adalah saat ia mabuk berat.

Beda hal dengan Mingyu. Teman Seungcheol yang ini luar biasa cerdas. Seungcheol nanti akan mempercayakan Mingyu untuk mengatur strategi perang dan latihan-latihan. Di antara ketiganya, Mingyu adalah yang paling ramah kepada semua orang. Ia terlewat baik sehingga kadang Seungcheol memarahi Mingyu yang tidak bisa menolak ketika diminta tolong orang lain.

“Oh ya, di sini ada anak Jenderal Yoon, tahu kan? Jenderal legendaris yang dulu bertarung hampir mati dengan pemimpin suku Hun?” ucapan Mingyu membuat Seungcheol mencari daftar pasukan.

“Yoon? Di sini ada Yoon Jeonghan dan Yoon Hyungsik. Yang mana putra Jenderal Yoon?” tanya Seungcheol.

“Yoon Jeonghan. Tapi sepertinya aku belum bertemu dengan Jeonghan tiga hari ini. Kamu, Seok?”

“Gak kenal nama. Aku hanya hafal wajah-wajah mana yang sering bertengkar.” Maklum, Seokmin setiap hari pasti melerai pertengkaran.

“Nanti juga kelihatan, pasti anak Jenderal Yoon jago bela diri. Gyu, aku tadi lihat ada perempuan rambut sebahu pakai seragam kita. Memangnya ada perempuan di sini?” Seungcheol baru ingat sosok yang dilihatnya.

“Mana mungkin perempuan masuk sini? Mungkin hantu?”

“Sudahlah, nanti juga ketahuan kalau ada perempuan! Ayo apel dulu, waktu kita tiga bulan!” Seokmin sudah tidak sabar.

Ketika mereka bertiga sudah sepakat atas rancangan latihan yang dibuat, semua orang dikumpulkan di lapangan. Seungcheol memperkenalkan dirinya sebagai kapten kompi yang akan memimpin dan bertanggung jawab atas seribu lebih prajurit di sini.

“Saya cuma mau mengingatkan satu hal. Kita semua di sini adalah pelindung negara. Kita harus berani berkorban bagi rakyat dan raja. Kalian yang terpanggil karena kewajiban sekarang saya berikan pilihan terakhir. Mau tetap di sini melakukan tugas mulia atau pulang ke rumah kembali menjadi petani? Silakan yang mau pulang, pulang sekarang.”

Hening. Seungcheol menunggu beberapa menit sambil memperhatikan pasukannya. Ia sebenarnya mencari mana orang yang namanya Yoon Jeonghan. Pasti orang itu bisa Seungcheol andalkan. Ayahnya Jenderal! Pasti Jeonghan Jeonghan sangat jago bertarung dan badannya pasti sangat kekar dan atletis.

Ketika matanya menerawang pasukannya, ada seorang laki-laki yang malah mengipas wajahnya dengan kipas tangan. Apa-apaan?

“Kamu! Yang lagi ngipas-ngipas! Sini!” Seungcheol geram melihatnya, laki-laki kok seperti itu?

Laki-laki yang dipanggil itu berjalan dengan muka masam ke arah Seungcheol. Cuek dengan pandangan jijik orang-orang hanya karena ia menenteng kipas tangan. Memangnya kenapa? Kan panas!

“Siapa namamu?” tanya Seungcheol ketika laki-laki itu sampai di hadapannya.

“Yoon Jeonghan,” jawab Jeonghan sambil menatap tajam lurus ke mata Seungcheol.

Seungcheol kagetnya bukan main. Sosok kurus dan ringkih ini adalah putra Jenderal Yoon? Yang benar saja!

--

--